Carang Bukan Zombie Sejarah




Kaum historian tidak bertugas untuk menghidupkan bangkai sejarah seumpama Zombie yang kosong pikirannya lalu memangsa otak siapa saja. Para ahli sejarah bukanlah Pendeta Voodoo pembangkit mayat hidup yang tampak menakutkan sekaligus menggelikan karena berjalan gontai dengan wajah yang sobek di sana – sini. Jika demikian adanya, biarkan sejarah itu mati terkubur dalam pusara zaman, karena ia tak kan pernah pantas untuk tampil di panggung peradaban yang kini. Titik kritisnya adalah, Zombie tidak memiliki kemauan sendiri sehingga selalu berada di bawah kendali sang Cenayang.

Dalam fiksi The Mummy Return, Pendeta Agung Imhotep berhasil dibangkitkan dari  peti Sarkofagus setelah mantra dalam Kitab Orang Mati dibacakan. Imhotep yang mulanya berwujud belulang Mummy yang dililit tali temali kain kapan, berubah menjadi manusia utuh yang punya kendali pada dirinya sendiri dan sangat kuat melebihi ketika ia hidup pada tahun 1290 SM. Jika sejarah yang hendak dibangkitkan hari ini selengkap Imhotep, maka marilah kita bersuka ria.

Tapi dengan sedih kita harus mengakui bahwa risalah masa lalu yang kita baca kini adalah kepingan – kepingan parsial-subyektif yang bersimpuh pada petarakna raja - raja oleh para penyair “pelat merah” dari masa lalu. Dari sini saja sudah ketahuan bahwa sejarah hanyalah mozaik kuno yang berat sebelah. Mungkin karena jelatapapa kedana tak layak dikenang.

Maka teks – teks sejarah tidak molek untuk diproklamirkan secara pars pro toto: sebagai sobekan – sobekan kecil untuk mewakili keseluruhan. Tapi apapun itu, manuskrip sejarah yang tersedia kini mesti diimani sebagai satu – satunya cara untuk menembus lorong waktu. Darinyalah kita memperoleh suatu perspektif masa silam.

Sejarah tidak bisa dibiarkan sendirian. Ia harus bersanding rapat dengan filsafat. Ilmu sejarah berbicara tentang kenangan – kenangan tekstual empiris – itupun jika penulisnya mampu menahan emosi untuk tidak mengontaminasi sejarah dengan imaji, mitos dan ego - sedangkan filsafat mendiktekan cara berpikirlogis analitis. Kedua ilmu ini akan sangat bersinergi dalam memecahkan masalah-masalah yang bermunculan di zaman kontemporer.

Kita berharap masa lalu dapat menjelaskan atau bahkan menekankan pembenaran terhadap apa yang terjadi sekarang. Dari sejarah dapat dicari akar-akar identitas bahkan orientasi ke masa depan.Harapan ini termasuk fungsi sosial dari sejarah yakni mengorganisasi masa lalu sebagai fungsi dari masa sekarang.

Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang mendorong manusia untuk berpikir kritis pada setiap simpul sejarah untuk kemudian direfleksikan pada masa kini dalam konteks yang relevan. Dengan demikian manusia mampu memetik sebuah pesan up to date dalam rangka membina kehidupan manusia kekiniannan ideal.

Filsafat secara harfiah berasal dari kata philo dan sophos, philo berarti cinta dan sophos berarti ilmu atau hikmah. Jadi filsafat secara terminologis berarti cinta terhadap ilmu, hikmah atau logos. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai titik fokusnya.

Sedangkan sejarah dari konteks Arab bermakna pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan yang lebih analogis karena pertumbuhan peradaban manusia umpama pohon yang dimulai dari biji kecil menjadi rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau message sejarah di dalamnya memerlukan kemampuan menerjemahkan hal – hal tersirat.

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada proses penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti dalam analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup yangesensial.

****

Sungai Carang adalah kegembiraan kita yang pantas dipatut – patut dan telapaknya ditelusur dengan debaran primordialistik yang tidak layak untuk dibantah siapapun. Ia telah setara dengan imperium Efrat dan Tigris di Mesopotamia, sungai Nil di Mesir, sungai Indus di Asia Selatan, serta sungai Kuning (Huang Ho) dan sungai Yang Tse di Tiongkok.

Peradaban kuno yang berada di kawasan sungai dianggap sebagai imperium yang kuat pada masanya, karena mereka menguasai potensi air yang diperlukan untuk membangun suatu masyarakat agraris. Sedangkan Carang adalah kombinasi keduanya. Ia membumikan budaya agraris bersempena melayarkan perniagaan maritim melintasi buana dan siapa saja kagum padanya.

Pada tiga abad lalu, oleh Sultan Abdul Jalil Syah III, Sungai Carang di Hulu Riau hendak dijadikan Kota Satelit dari Kesultanan Johor – Riau. Namun Laksmana Tun Abdul Jamil yang bertugas untuk itu mampu menghadirkan Carang melebihi ekspekstasi istana. Carang menjadi gempita sebagai labuhan antara bangsa sehingga pusat pemerintahan pun beralih ke Hulu Riau.

Seakan ingin menegaskan kembali tuah Bintan sebagai pusat kerajaan (Bentan) sebelum Dinasti Sang Sapurba ditegakkan dalam masa 300 tahun lebih awal, Carang lalu kemudian Pulau Biram Dewa berdiri sebagai puncak peradaban Melayu ketika itu.

Kini, 300 tahun setelahnya, Carang membisu dan terluka parah oleh ketamakan eksploitasi bauksit. Sedangkan risalah – risalah tentangnya telah usai ditulis dan ditulis lagi dengan cara yang hampir sama oleh siapa saja. Carang bersemayam dalam keranda zaman, kabar tentangnya menjadi urban legend yang lamat – lamat, menjadi mitos, menjadi aksioma, menjadi hikayat pengantar tidur atau menjadi gelak tawa kaum sarkas.

Sejarah acap terjebak pada kebuntuan empiris, tapi filsafat tak mungkin berhenti pada gejala permukaan. Sebaliknya filsafat menggali sedalam – dalamnya seluruh yang berada di bawah gejala permukaan itu. Penggalian dimaksud bukanlah sebatas verifikasi dan eksperimental pada ilmu sejarah, tapi mencakup seluruh aspek kehidupan di bumi mulai dari pendekatan teologis, metafisika, kosmologi dan psikologi.

Seorang local genius bernama Rida K Liamsi patut dikenang sebagai inisiator Festival Sungai Carang. Karena dari sinilah kita memulai untuk merekonstruksi Carang guna mengulang tuah dalam fase ke tiga. Sungai Carang dalam dimensi futurisme, hendaknya menjadi kegemilangan bersama secara equal opportunityjika perlu affirmative action, ketika jelata hanya menjadi anak tiri sejarah kini dapat menumpangkan hajat hidup mereka.
Mari kita berdiri pada lini masa penghancuran Carang dari peradaban Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Tanpa sentuhan filsafat yang mengkaji hukum kausalitas, maka kemungkinan besar kita hanya akan mengulang – bahkan telah memulai - penghancuran itu setelah kembali membangun replika sejarahnya dari nol besar.

Harus diakui bahwa kebanggaan di atas Carang adalah lintasan kosmik dari cerita mahkota orang – orang berdarah biru yang menjalin hubungan mesra dengan imperialisme. Tentang kerajaan yang menarik cukai dan membiarkan gurita imperialisme menindih rakyat. Perlawanan barulah terjadi ketika kolonialisme menunjukkan watak aslinya sebagai kaum penghisap yang ingkar janji.

Hingga akhir dunia, imperialisme dan neoliberalisme akan terus menancapkan kuku – kukunya sembari menghasut petinggi negeri untuk mendapat konsesi. Maka mestinya kita mengubah mindsetpermisif dan terlalu beramah tamah hingga lupa bahwa kita pernah terjajah. Bergesalah untuk membuang tabiat diskusi sejarah yang superfisial (dangkal), atomistik, terpilah – pilah, dan simplistik (terlalu menyederhanakan) tanpa mampu menumbuhkan pohon baru yang lebih kokoh untuk tempat bernaung semua kita.

Jika kemudian, Carang masa depan hanya menjadi ranah tamasya ribuan yacht dari Singapura dan menjadi zona kapitalisme maritim tanpa mampu menaruh manfaat kepada hajat hidup orang banyak bahkan melakukan penyingkiran pada jelata, maka sejarah yang kita bangkitkan tentang Carang hanyalah sekelas Zombie yang kosong pikirannya lalu memangsa otak siapa saja. ***

OLEH: Muhammad Natsir Tahar
Dalam Buku Ontologi Derai Canang Sungai Carang
Terbitan Yayasan Jembia Emas



















Comments